11:39 AM
Unknown
Arena Berita Dunia - Ingin memiliki keturunan melalui bayi tabung kini kian mudah saja. Di Indonesia, 20 klinik bayi tabung siap membantu pasien yang menginginkan keturunan. Teknik ini memiliki tingkat keberhasilan hingga 45 persen.
Memiliki buah hati adalah salah satu tujuan dalam membangun sebuah mahligai rumah tangga. Namun, jika sang anak tidak kunjung datang dalam waktu yang lama usai pernikahan, segala upaya oleh pasangan suami-istri (pasutri) tentu akan ditempuh. Bila cara-cara pengobatan sebelumnya seperti mengonsumsi obat penyubur dan terapi lainnya tak berhasil jua, mungkin teknik bayi tabung bisa dicoba.
Asal tahu saja, Indonesia merupakan negara paling awal yang menjalankan program bayi tabung dibanding Thailand dan Malaysia, yaitu sejak 1987. Namun, perkembangannya tergolong lambat, dilihat dari jumlah peserta program bayi tabung yang masih sedikit dan jauh lebih kecil dibandingkan negara-negara Asia lainnya. Yang membuat resah, pasangan-pasangan yang mengalami gangguan kesuburan dan memilih program bayi tabung justru menyambangi negara-negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia untuk dapat memiliki buah hati.
Ketua Perkumpulan Fertilisasi In Vitro Indonesia (PERFITRI), Prof dr Soegiharto Soebijanto SpOG(K) mengungkapkan, banyak hal yang menyebabkan itu semua. Yang paling penting adalah masalah regulasi serta pertentangan soal moral dan etika. Namun, lanjut dia, itu sudah masa lalu. Hukum menjalankan program bayi tabung dalam agama kini sudah tidak dipermasalahkan lagi. Terkait perizinan oleh pemerintah juga semakin longgar.
Sekarang, di Indonesia telah terdapat 20 klinik fertilitas dan bayi tabung, dari sebelumnya hanya dua tempat yang diperbolehkan.
“Klinik-klinik tersebut didukung oleh dokter-dokter profesional dan fasilitas terdepan yang tidak kalah dengan negara lain. Semoga bisa mengurangi pasien yang berobat keluar negeri,” kata Soegiharto kepada media gathering yang diselenggarakan oleh PERFITRI dan PT Merck Tbk dalam rangka sosialisasi bayi tabung kepada masyarakat di Hotel Gran Melia, Jakarta.
Soegiharto menuturkan, 20 klinik bayi tabung tersebut terdapat di delapan kota besar di Tanah Air, yaitu Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Solo, Semarang, Surabaya, Denpasar, dan Medan. Pelayanan yang diberikan di sana termasuk banyak, mulai dari konsultasi awal, layanan terpadu, sampai konsultasi biaya. Bayi tabung sendiri adalah tindakan pembuahan sel telur dan sperma di luar tubuh wanita atau dikenal juga dengan istilah in vitro vertilization (IVF). Dalam prosesnya, sel telur yang sudah matang diambil dari indung telur lalu dibuahi dengan sperma di dalam sebuah medium cairan. Setelah berhasil, embrio kecil yang terjadi dimasukkan ke dalam rahim dengan harapan dapat berkembang menjadi bayi.
Dr Budi Wiweko SpOG (K), Sekretaris Jenderal PERFITRI menjelaskan, dari 237 juta lebih penduduk Indonesia, terdapat wanita usia reproduksi sebanyak 39,8 juta orang.
Mereka yang mengalami infertilitas atau gangguan kesuburan ditengarai mencapai 10–15 persen di antaranya, atau sekitar 3,9 juta orang. Dari jumlah itu, 5 persen di antaranya membutuhkan pertolongan medis hingga bayi tabung. Bisa dikatakan, pasangan yang potensial menjalankan program bayi tabung sekitar 200.000 pasien per tahun. Dilihat dari faktor ekonomi, sepertinya hanya 10 persen di antaranya yang mampu melakukannya atau 20.000 pasien. Namun kenyataannya, pada 2011, hanya terdapat 3.000–3.500 kasus bayi tabung yang dijalankan di Indonesia, naik dari 1.700 kasus pada 2010. Itu berarti, kata dia, ada sekitar 16.500 kasus yang tidak terlayani.
Ke mana mereka berobat? “Ya, ke negara tetangga kita seperti Malaysia, Thailand, atau Vietnam,” tandas Budi.
Dia mengemukakan, ada sejumlah kendala utama masih sedikitnya siklus bayi tabung di Tanah Air.
Di antaranya masih minimnya klinik fertilitas dan bayi tabung. Kalaupun sekarang sudah ada 20 buah, penyebaran lokasinya kurang merata. Sebagian besar berada di Pulau Jawa.
sumber:http://health.okezone.com/read/2012/02/21/482/579497/bayi-tabung-makin-gampang
“Bisa dibayangkan, penduduk di Sumatera misalnya, lebih senang terbang ke Penang atau Malaka, Malaysia, dibandingkan ke Surabaya atau Jakarta,” sebut Budi.
Angka kasus bayi tabung di Nusantara dan negara lain memang tidak sebanding.
Malaysia dan Singapura contohnya, sudah menangani 3.000 pasien, sementara Vietnam 6.000 pasien. Faktor lainnya adalah sistem rujukan kesehatan belum terstruktur dengan baik. Pasien gangguan kesuburan yang memiliki keuangan berlebih biasanya langsung mendatangi dokter spesialis atau pengobatan alternatif. Berdasarkan wawancara dengan 212 pasien infertilitas di Jakarta, Surabaya, dan Bali, terungkap bahwa sekitar 40 persen pasien khawatir menemui dokter kandungan karena takut divonis mandul.
Sekitar 21 persen di antaranya senang dengan doctor shopping alias berganti-ganti dokter. Alasan paling sering adalah kegagalan pengobatan. “Padahal, pemeriksaan fertilitas itu memerlukan waktu lama dan bertahap. Ini yang mereka tidak tahu,” ujar Budi.
Sumber daya manusia, termasuk tenaga medisnya juga belum terdistribusi dengan baik, kemampuannya pun masih terbatas. Mahalnya ongkos transportasi di negara kepulauan seperti Indonesia juga menjadi kendala cukup berarti. Budi mengatakan, biaya program bayi tabung yang relatif tinggi dan kepekaan sosial masyarakat yang belum terasah juga menjadi permasalahan penting.
“Mereka tidak tahu mau ke mana untuk menjalankan program bayi tabung. Rendahnya pengetahuan masyarakat serta kurangnya advokasi mesti diselesaikan dengan segara,” tuturnya.
Memiliki buah hati adalah salah satu tujuan dalam membangun sebuah mahligai rumah tangga. Namun, jika sang anak tidak kunjung datang dalam waktu yang lama usai pernikahan, segala upaya oleh pasangan suami-istri (pasutri) tentu akan ditempuh. Bila cara-cara pengobatan sebelumnya seperti mengonsumsi obat penyubur dan terapi lainnya tak berhasil jua, mungkin teknik bayi tabung bisa dicoba.
Asal tahu saja, Indonesia merupakan negara paling awal yang menjalankan program bayi tabung dibanding Thailand dan Malaysia, yaitu sejak 1987. Namun, perkembangannya tergolong lambat, dilihat dari jumlah peserta program bayi tabung yang masih sedikit dan jauh lebih kecil dibandingkan negara-negara Asia lainnya. Yang membuat resah, pasangan-pasangan yang mengalami gangguan kesuburan dan memilih program bayi tabung justru menyambangi negara-negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia untuk dapat memiliki buah hati.
Ketua Perkumpulan Fertilisasi In Vitro Indonesia (PERFITRI), Prof dr Soegiharto Soebijanto SpOG(K) mengungkapkan, banyak hal yang menyebabkan itu semua. Yang paling penting adalah masalah regulasi serta pertentangan soal moral dan etika. Namun, lanjut dia, itu sudah masa lalu. Hukum menjalankan program bayi tabung dalam agama kini sudah tidak dipermasalahkan lagi. Terkait perizinan oleh pemerintah juga semakin longgar.
Sekarang, di Indonesia telah terdapat 20 klinik fertilitas dan bayi tabung, dari sebelumnya hanya dua tempat yang diperbolehkan.
“Klinik-klinik tersebut didukung oleh dokter-dokter profesional dan fasilitas terdepan yang tidak kalah dengan negara lain. Semoga bisa mengurangi pasien yang berobat keluar negeri,” kata Soegiharto kepada media gathering yang diselenggarakan oleh PERFITRI dan PT Merck Tbk dalam rangka sosialisasi bayi tabung kepada masyarakat di Hotel Gran Melia, Jakarta.
Soegiharto menuturkan, 20 klinik bayi tabung tersebut terdapat di delapan kota besar di Tanah Air, yaitu Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Solo, Semarang, Surabaya, Denpasar, dan Medan. Pelayanan yang diberikan di sana termasuk banyak, mulai dari konsultasi awal, layanan terpadu, sampai konsultasi biaya. Bayi tabung sendiri adalah tindakan pembuahan sel telur dan sperma di luar tubuh wanita atau dikenal juga dengan istilah in vitro vertilization (IVF). Dalam prosesnya, sel telur yang sudah matang diambil dari indung telur lalu dibuahi dengan sperma di dalam sebuah medium cairan. Setelah berhasil, embrio kecil yang terjadi dimasukkan ke dalam rahim dengan harapan dapat berkembang menjadi bayi.
Dr Budi Wiweko SpOG (K), Sekretaris Jenderal PERFITRI menjelaskan, dari 237 juta lebih penduduk Indonesia, terdapat wanita usia reproduksi sebanyak 39,8 juta orang.
Mereka yang mengalami infertilitas atau gangguan kesuburan ditengarai mencapai 10–15 persen di antaranya, atau sekitar 3,9 juta orang. Dari jumlah itu, 5 persen di antaranya membutuhkan pertolongan medis hingga bayi tabung. Bisa dikatakan, pasangan yang potensial menjalankan program bayi tabung sekitar 200.000 pasien per tahun. Dilihat dari faktor ekonomi, sepertinya hanya 10 persen di antaranya yang mampu melakukannya atau 20.000 pasien. Namun kenyataannya, pada 2011, hanya terdapat 3.000–3.500 kasus bayi tabung yang dijalankan di Indonesia, naik dari 1.700 kasus pada 2010. Itu berarti, kata dia, ada sekitar 16.500 kasus yang tidak terlayani.
Ke mana mereka berobat? “Ya, ke negara tetangga kita seperti Malaysia, Thailand, atau Vietnam,” tandas Budi.
Dia mengemukakan, ada sejumlah kendala utama masih sedikitnya siklus bayi tabung di Tanah Air.
Di antaranya masih minimnya klinik fertilitas dan bayi tabung. Kalaupun sekarang sudah ada 20 buah, penyebaran lokasinya kurang merata. Sebagian besar berada di Pulau Jawa.
sumber:http://health.okezone.com/read/2012/02/21/482/579497/bayi-tabung-makin-gampang
“Bisa dibayangkan, penduduk di Sumatera misalnya, lebih senang terbang ke Penang atau Malaka, Malaysia, dibandingkan ke Surabaya atau Jakarta,” sebut Budi.
Angka kasus bayi tabung di Nusantara dan negara lain memang tidak sebanding.
Malaysia dan Singapura contohnya, sudah menangani 3.000 pasien, sementara Vietnam 6.000 pasien. Faktor lainnya adalah sistem rujukan kesehatan belum terstruktur dengan baik. Pasien gangguan kesuburan yang memiliki keuangan berlebih biasanya langsung mendatangi dokter spesialis atau pengobatan alternatif. Berdasarkan wawancara dengan 212 pasien infertilitas di Jakarta, Surabaya, dan Bali, terungkap bahwa sekitar 40 persen pasien khawatir menemui dokter kandungan karena takut divonis mandul.
Sekitar 21 persen di antaranya senang dengan doctor shopping alias berganti-ganti dokter. Alasan paling sering adalah kegagalan pengobatan. “Padahal, pemeriksaan fertilitas itu memerlukan waktu lama dan bertahap. Ini yang mereka tidak tahu,” ujar Budi.
Sumber daya manusia, termasuk tenaga medisnya juga belum terdistribusi dengan baik, kemampuannya pun masih terbatas. Mahalnya ongkos transportasi di negara kepulauan seperti Indonesia juga menjadi kendala cukup berarti. Budi mengatakan, biaya program bayi tabung yang relatif tinggi dan kepekaan sosial masyarakat yang belum terasah juga menjadi permasalahan penting.
“Mereka tidak tahu mau ke mana untuk menjalankan program bayi tabung. Rendahnya pengetahuan masyarakat serta kurangnya advokasi mesti diselesaikan dengan segara,” tuturnya.
0 comments:
Post a Comment