12:54 PM
Unknown
Arena Berita Dunia - Era globalisasi saat ini, emansipasi perempuan dihadapkan dengan dua
tantang. Dari eksternal, sistem masih belum banyak berpihak pada
perempuan.
Masih banyak undang-undang dan peraturan masih belum berpihak pada perempuan. Meski klise, tradisi-tradisi yang berlaku di masyarakat Indonesia juga masih sangat membelenggu perempuan.
Hal itu diungkapkan politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Chusnunia dalam menyikapi Hari Kartini kepada Okezone, Sabtu (21/4/2012).
Selain itu, kata dia, disebabkan faktor kontruksi sosial budaya yang menyebabkan perempuan jauh tertinggal langkah. Akibatnya, perempuan menjadi korban ketimpangan sosial.
“Akibat konstruksi sosial budaya yang kurang berpihak, menyebabkan perempuan terbatas dalam Sumber Daya Manusia (SDM), lemah dalam berpikir, selalu menjadi subordinasi, marginalisasi ekonomi, kadang mengalami kekerasan fisik nonfisik,” kata dia.
Seringkali, lanjutnya, perempuan juga dihadapkan pada peran ‘ganda ganda’ seperti urusan publik dan domestik. Misalnya, satu sisi dia sebagai pencari nafkah dan juga harus menyelesaikan urusan rumah tangga.
Sehingga, pada momentum Hari Kartini yang dinilai membawa perubahan bagi kemajuan perempuan yang salah satu gagasan besarnya tentang pendidikan perempuan. Anggota Komisi IX DPR RI berharap perempuan harus melek huruf, senantiasa berpikir genuin dalam upaya mencari solusi, dan mengejar ketertinggalan.
”Selain itu, Kartini juga mengajak perempuan untuk lebih maju dan berkembang tidak hanya terjebak dalam urusan domestik, tapi juga ikut terlibat dalam momentum-momentum perjuangan rakyat dalam pengabdian bangsa demi terciptanya tatanan sosial yang adil dan sejahtera,” imbuh dia.
Hal berbeda justru dikatakan oleh politikus PDI Perjuangan Dewi Aryani. Menurut Dewi, emansipasi tidak lagi penting untuk dibahas. Sebab baik laki-laki maupun perempuan memiliki kesempatan yang sama. Saat ini, kata dia, tergantung bagaimana memanfaatkannya.
“Sekarang ini emansipasi sudah tidak perlu dibahas, karena laki-laki dan perempuan di Indonesia sudah mendapat tempat dan kesempatan yang sama. Tinggal bagaimana perempuan memaknai peluang ini dan memperjuangkannya menjadi kinerja yang menguntungkan bagi kaumnya,” kata dia.
Kesetaraan harus dimaknai sebagai ghirah untuk bekerja keras dan menunjukkan bahwa kaum perempuan bukan lagi subordinasi melaikan mitra kerja dalam bekerja sama membangun peradaban bangsa.
“Isu-isu kesetaraan harus dimaknai sebagai spirit bekerja lebih keras dan terus menerus memberi sinyal perjuangan kepada kaum lelaki bahwa perempuan harusnya menjadi mitra, partner dalam segala bentuk perjuangan dalam proses pembangunan bangsa dan Negara,” pungkasnya
sumber
Masih banyak undang-undang dan peraturan masih belum berpihak pada perempuan. Meski klise, tradisi-tradisi yang berlaku di masyarakat Indonesia juga masih sangat membelenggu perempuan.
Hal itu diungkapkan politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Chusnunia dalam menyikapi Hari Kartini kepada Okezone, Sabtu (21/4/2012).
Selain itu, kata dia, disebabkan faktor kontruksi sosial budaya yang menyebabkan perempuan jauh tertinggal langkah. Akibatnya, perempuan menjadi korban ketimpangan sosial.
“Akibat konstruksi sosial budaya yang kurang berpihak, menyebabkan perempuan terbatas dalam Sumber Daya Manusia (SDM), lemah dalam berpikir, selalu menjadi subordinasi, marginalisasi ekonomi, kadang mengalami kekerasan fisik nonfisik,” kata dia.
Seringkali, lanjutnya, perempuan juga dihadapkan pada peran ‘ganda ganda’ seperti urusan publik dan domestik. Misalnya, satu sisi dia sebagai pencari nafkah dan juga harus menyelesaikan urusan rumah tangga.
Sehingga, pada momentum Hari Kartini yang dinilai membawa perubahan bagi kemajuan perempuan yang salah satu gagasan besarnya tentang pendidikan perempuan. Anggota Komisi IX DPR RI berharap perempuan harus melek huruf, senantiasa berpikir genuin dalam upaya mencari solusi, dan mengejar ketertinggalan.
”Selain itu, Kartini juga mengajak perempuan untuk lebih maju dan berkembang tidak hanya terjebak dalam urusan domestik, tapi juga ikut terlibat dalam momentum-momentum perjuangan rakyat dalam pengabdian bangsa demi terciptanya tatanan sosial yang adil dan sejahtera,” imbuh dia.
Hal berbeda justru dikatakan oleh politikus PDI Perjuangan Dewi Aryani. Menurut Dewi, emansipasi tidak lagi penting untuk dibahas. Sebab baik laki-laki maupun perempuan memiliki kesempatan yang sama. Saat ini, kata dia, tergantung bagaimana memanfaatkannya.
“Sekarang ini emansipasi sudah tidak perlu dibahas, karena laki-laki dan perempuan di Indonesia sudah mendapat tempat dan kesempatan yang sama. Tinggal bagaimana perempuan memaknai peluang ini dan memperjuangkannya menjadi kinerja yang menguntungkan bagi kaumnya,” kata dia.
Kesetaraan harus dimaknai sebagai ghirah untuk bekerja keras dan menunjukkan bahwa kaum perempuan bukan lagi subordinasi melaikan mitra kerja dalam bekerja sama membangun peradaban bangsa.
“Isu-isu kesetaraan harus dimaknai sebagai spirit bekerja lebih keras dan terus menerus memberi sinyal perjuangan kepada kaum lelaki bahwa perempuan harusnya menjadi mitra, partner dalam segala bentuk perjuangan dalam proses pembangunan bangsa dan Negara,” pungkasnya
sumber
0 comments:
Post a Comment